Tag Archive: salon plus


Hari ini aku hanya melayani tiga orang pelanggan saja, termasuk om Jerry. Badanku masih terasa letih, aku tak ingin terlalu memaksakannya. Apalagi, malam ini aku masih harus melayani para pria hidung belang lainnya. Om Jerry tidak menempati janjinya untuk kembali datang. Ia meneleponku dan mengatakan bahwa kesibukkan menghalanginya untuk datang menjemputku dan mengajakku makan seperti biasa. Aku sedikit kecewa, tapi aku tak terlalu memikirkannya. Kejadian yang menimpa Emak sedikit banyak memberiku pelajaran. Aku menjadi  bersikap hati-hati terhadap para lelaki yang mencoba merayuku, dan berkata cinta padaku. Om Jerry tentu berbeda dengan pria asal Kalimantan yang telah meninggalkan emak begitu saja. Aku yakin om Jerry adalah seorang yang jujur dan tulus. Atau mungkin saja aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, sehingga membuatku begitu yakin terhadapnya.

Jarum jam di dinding kamar kecil tempat aku melayani nafsu pria-pria busuk itu sudah menuju ke angka delapan. Itu artinya aku harus bergegas. Kulangkahkan kakiku menuju lantai atas, tempat menjemur pakaian. Kuambil sebuah handuk berwarna merah muda dengan motif hati. Handuk ini juga merupakan pemberian dari om Jerry. Aku suka menggunakan handuk ini, kainnya sungguh lembut dan tebal. Bukan handuk murahan pastinya. Sebelum meninggalkan salon, aku selalu mandi agar nanti di tempat kerjaku selanjutnya, badanku kembali segar dan wangi. Aku termasuk tipe perempuan yang suka berlama-lama di kamar mandi, bagiku, mandi adalah sebuah ritual penting. Dimana aku dapat membersihkan sisa-sisa kotoran yang menempel di tubuhku. Daki-daki dari bermacam-macam pria hidung belang yang keringatnya telah bercampur dengan keringatku. Apalagi tadi, ada salah seorang pelanggan yang mungkin sangat terobsesi dengan film porno. Dia menumpahkan spermanya di atas dadaku. Aku sungguh jijik, tapi apa daya, dia telah membayarku dan dia bebas melakukan apapun yang dia mau. Kugosok bagian dadaku berulang kali dengan sabun, kemudian kubilas dengan air. Jari-jari lentikku bermain-main di antara lekukkan payudaraku yang masih terlihat kencang. Bagian tubuhku yang paling diminati oleh pria-pria hidung belang. Putingku terasa sedikit perih ketika aliran air jatuh di atasnya, sepertinya salah seorang pelangganku tadi menggigit puting payudaraku yang mungil ini. Sialan, orang itu benar-benar maniak.

**

Selesai mandi, kulanjutkan ritual mempercantik diri dengan memberi riasan pada wajahku. Aku memberi warna merah pada bibir tipisku. Kuganti pakaianku dengan yang lebih seksi. Kaos ketat berwarna putih, dengan bra hitam di dalamnya. Sengaja kuperlihatkan belahan dada dan pusarku, agar semakin menggoda nantinya. Kaos ketat berwarna putih itu kupadukan dengan rok mini berwarna hitam dan celana dalam yang tipis. Sempurna sudah aku menjadi badut malam ini. Aku bahkan  menggunakan farfum yang wanginya dapat tercium dari jarak 5 meter.

Wajah emak masih ceria, uang yang ia dapat hari ini sangat banyak. Dia sedikit acuh ketika aku pamit untuk pulang. Tangannya yang tak lagi halus terlihat lihai menghitung keuntungan hari ini. Aku tersenyuim melihatnya. Wajahnya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan hari-hari biasa ketika salon sedang sepi. Kunyalakan sepeda motor mio berwarna merah muda. Kendaraan yang menemaniku sehari-hari. Kuberi pak Parjo uang secukupnya. Ia menolaknya, tetapi aku memaksa. Ia-pun menerimanya sambil tersenyum.

“Makasi mba, semoga rejekinya makin lancar..” Pak Parjo memberiku do’a.

“Amin, sama-sama pak. Bapak juga ya, semoga rejekinya lancar..” Jawabku.

Sungguh baik orang tua ini, batinku dalam hati. Akupun melaju menuju pusat keramaian kota Jogja. Sepanjang jalan aku mengalami kemacetan, pemandangan yang lazim terlihat ketika malam minggu tiba. Muda-mudi yang kasmaran, anak-anak ABG yang sedang mencari jati dirinya, mahasiswa-mahasiswa kaya dengan dandanan mentereng dan mobil yang mewah, rombongan keluarga yang sedang menikmati liburan akhir pekan, semua berkumpul jadi satu di jalan raya. Banyak pria yang memperhatikanku. Mata mereka tertuju pada payudara dan rok mini-ku yang sesekali terbuka karena tertiup angin sehingga celana dalamku terlihat. Pernah sekali waktu, ada kejadian yang menggelikan. Seorang bapak-bapak tua terjatuh dan menabrak tiang lampu yang terdapat pada trotoar pembatas jalan. Posisi bapak tersebut persis di sebelahku. Sebelumnya, ia memang terus-terusan memperhatikanku, matanya terus tertuju padaku. Mungkin konsentrasinya menjadi hilang, dan secara tidak sadar, sepeda motornya berbelok arah dan menabrak tiang lampu tersebut. Aku selalu tersenyum setiap kali mengingat kejadian tersebut. Aku sedikit merasa berdosa.

**

Perjalananku dari salon menuju tempat kerjaku selanjutnya memakan waktu sekitar 20 menit. Cukup lama, biasanya hanya membutuhkan 10 menit saja. Kuparkir sepeda motorku di tempat parkir stasiun Tugu Yogyakarta yang terkenal itu. Lalu aku berjalan menuju sebuah gang sempit. Gang berlambang kupu-kupu. Disini-lah aku bekerja setiap malam. Disini jua-lah emak dulu menjajakan tubuhnya pada pria-pria hidung belang. Gang berlambang kupu-kupu ini adalah sebuah kawasan lokalisasi prostitusi yang sangat terkenal di Yogyakarta, bahkan di Indonesia. Sarkem namanya. Singkatan dari pasar kembang, nama jalan tempat gang ini berada. Lokasi gang ini tepat di belakang jalan Malioboro yang tersohor itu. Maka tidak heran, setiap akhir pekan, selain Malioboro, Sarkem merupakan salah satu tujuan wisata di kota Jogja. Gang sempit ini sebenarnya adalah pemukiman warga, namun setiap malam rumah-rumah kecil tersebut di sulap menjadi losmen-losmen yang menyediakan penjaja tubuh seperti aku ini. Aku tidak pernah tahu pasti sejak kapan daerah ini berubah menjadi daerah lokalisasi prostitusi. Gang ini berbentuk seperti labirin. Banyak terdapat belokan-belokan kecil yang saling terhubung satu dan lainnya. Di sepanjang jalan, banyak perempuan-perempuan seperti aku berdiri atau sekedar duduk berjajar dan kemudian menggoda setiap pria yang lewat. Mulai dari usia sekolahan, hingga ibu-ibu tua dan keriput ada disini. Tarif perempuan penjaja tubuh disini bermacam-macam, tergantung usia, wajah dan tubuh mereka masing-masing. Tarif berkisar antara 50 ribu hingga 120 ribu rupiah sekali main. Itu sudah termasuk menyewa kamar losmen yang memang sudah disediakan. Sistimnya mirip dengan salon, namun pemilik losmen hanya mendapatkan bagian 25% setiap transaksi. Berbeda dengan emak Ros yang meminta bagian sebesar 50%. Tarifku adalah 120 ribu untuk satu kali main. Tarif termahal di tempat ini, walaupun sangat murah apabila di bandingkan dengan tarifku di salon emak Ros. Aku adalah primadona tempat ini. Aku adalah perempuan yang paling di minati. Mungkin karena bentuk tubuhku yang proporsional dan di imbangi dengan parasku yang cantik. Tetapi tidak hanya itu, ada yang bilang kalau goyangan-ku di ranjang-lah yang membuat mereka ketagihan. Aku tak begitu peduli dengan semua itu. Yang aku butuhkan hanyalah uang mereka, dan aku memberikan kenikmatan kepada mereka. Pria hidung belang yang berkunjung ke lokalisasi ini jauh lebih banyak di bandingkan dengan salon. Jenisnya-pun lebih beragam. Kalau di salon, pelanggan yang datang biasanya berasal dari kalangan menengah ke atas. Mahasiswa kaya, pejabat, anggota DPRD dan lain-lain. Di Sarkem, pelanggan yang datang lebih banyak berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mahasiswa kere, anak-anak ABG, Satpam dan lain-lain. Tetapi setiap malam minggu dan libur panjang, lokalisasi ini di penuhi pelancong dari luar kota yang kebetulan berlibur ke Malioboro dan mampir ke Sarkem. Untuk itu-lah, setiap malam minggu, aku berdandan jauh lebih seksi di banding malam-malam biasanya. Tarifku-pun naik, setiap malam minggu, tarifku menjadi 150 ribu sekali main.

**

“Wah, kok baru dateng Mir? Udah banyak yang nunggu kamu tuh. Udah banyak yang ngantri..” Mami Sarah menyambutku dengan pertanyaan yang hari ini sudah dua kali kudengar.

“Macet mi..” Jawabku singkat.

Mami Sarah adalah pemilik Losmen Cinta, losmen yang paling terkenal di lokalisasi ini. Losmen yang terkenal dengan perempuan-perempuan muda yang cantik dan seksi. Tarif perempuan-perempuan penjaja tubuh di losmen ini lebih mahal di bandingkan losmen-losmen lainnya yang terdapat di gang sempit, kumuh dan bau ini. Tetapi losmen ini selalu ramai di kunjungi. Dan aku-lah primadona losmen ini. Benar kata mami Sarah, tak berapa lama, sudah ada pelanggan yang mendekatiku. Kalau di lihat dari gayanya berpakaian, dia adalah seorang mahasiswa, pengunjung terbanyak lokalisasi ini. Aku pura-pura acuh tak acuh. Berbeda dengan perempuan lain penghuni lokalisasi ini, aku tak pernah menggoda pria yang lalu lalang di hadapanku. Aku tak perlu melakukan itu semua, mereka-lah yang mendatangiku.

“Berapa-an mba?..” Ia menanyakan hargaku.

“150 ribu mas, seperti biasa..” Jawabku.

Ia mengangguk, tanda setuju. Tidak menawar sama sekali. Mungkin dia memang telah menantiku, atau sudah terbius dengan kemolekkan tubuhku.

Aku menggandeng tangannya dengan mesra. Kuajak ia menuju kamar tempat aku “praktek”. Kulepas pakaianku satu-persatu hingga tak ada sehelai benang-pun yang menempel di tubuhku. Pria itu-pun bergegas melucuti pakaiannya, dia terlihat sudah tidak tahan. Kuambil kondom yang memang sudah di sediakan oleh losmen. Kupasangkan kondom beraroma buah stroberi kedalam penisnya yang sudah tegang. Segera kusuruh ia untuk menindihku. Tidak ada pemanasan sebelum melakukan hubungan seksual. Aku tak ingin berlama-lama dengan satu orang pelanggan. Kecuali ia memberiku uang tambahan.

Lima menit berlalu. Kembali kubersihkan bagian paling sensitif dari tubuhku. Kurapikan bajuku, dan aku menunggu, menunggu malam berlalu….

Bersambung…..

baca cerita sebelumnya : mirna dan dosa (emak ros)

Sekarang hari Sabtu, dan awal bulan. Salon pasti sangat ramai. Banyak pria-pria hidung belang yang baru menerima gaji dan menghamburkan sebagian gaji mereka untuk kepuasan nafsu birahinya. Salon ini memang sudah terkenal seantero Jogja, mulai dari pejabat, pegawai negeri sampai mahasiswa pernah berkunjung ke salon ini. Namun aku lebih memilih melayani pejabat dan pria-pria paruh baya, disamping mempunyai banyak uang, biasanya mereka tidak terlalu banyak maunya. Beda dengan mahasiswa, selain selalu menawar dan banyak maunya, aku juga merasa kasihan dengan mereka. Menggunakan sebagian uang makan-nya hanya untuk kenikmatan sesaat. Pernah sekali waktu aku mendapatkan seorang pelanggan dari kalangan mahasiswa. Orangnya lumayan ganteng, berkulit putih dan terlihat glamor. Sebelum ke tahap berikutnya, biasanya aku melakukan pijatan kepada para pelanggan, karena memang, sesungguhnya pelayanan yang di tawarkan adalah pelayanan pijat. Selanjutnya, pintar-pintar kita untuk merayu pelanggan agar mau mengeluarkan uangnya lagi untuk pelayanan “plus-plus”. Aku sendiri tak pandai memijat, bahkan tidak bisa memijat sama sekali. Sesungguhnya yang kulakukan itu bukanlah pijatan, melainkan sentuhan-sentuhan halus yang dapat membangkitkan syahwat para pria tersebut. Mulai dari punggung, pantat hingga selangkangan mereka. Bahkan tidak segan-segan aku menyentuh bagian paling sensitif dari tubuh pria, yaitu penisnya. Aku yakin sentuhan-sentuhan itu akan membuat mereka penasaran, sehingga menginginkan yang lebih daripada sekedar pijat. Mahasiswa itu terlihat sangat menikmati pijatan lembut yang kuberikan. Sesekalitangannya yang jahil ingin meraba payudaraku yang memang sengaja agak ku tonjolkan. Tetapi segera kutepis tangannya.

“ Kalau untuk yang itu, ada biaya tambahannya mas..” Ujarku.

“ Kalau main berapa mba? ” Dengan muka penasaran, ia bertanya.

“ 300 ribu mas, sudah ama pijet..”

“ Wah kok mahal mba? Gak bisa kurang po? ” Dia coba menawar.

“ Gak bisa mas, emang segitu harganya mas. Kalau pijit saja cuma 50ribu mas…”

“ 250 ya mba? Duit saya pas-pasan nih..”

Wah, duit pas-pasan kok kesini, gumamku dalam hati. Tapi akhirnya aku mengalah juga, tak tega kulihat raut mukanya yang menahan hasratmenggebu. Didit namanya. Seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta kenamaan di Jogja. Awalnya aku heran, mengapa orang seganteng dia datang ke tempat seperti ini, logikanya, dia pasti telah memiliki seorang pacar. Dan memang benar, dia telah memiliki seorang pacar, teman sekampusnya. Ketika ku tanyakan mengapa ia tetap datang ke tempat seperti ini, jawabannya sungguh klasik,

“ pacar saya goyangannya kurang hot mba…” aku tersenyum mendengarnya.

Tapi segera  kutepis jauh-jauh simpatiku terhadap pria muda ini, yang kubutuhkan adalah uangnya, aku tak perduli lagi dengan hal lainnya. Dan sejak saat itu, aku menjadi malas melayani pelanggan dari kalangan mahasiswa lagi.

**

Emak terlihat sangat girang, pemandangan yang memang biasa terlihat setiap akhir pekan. Apalagi pada tanggal muda seperti sekarang, dompetnya akan semakin tebal. Dia mendapat bagian 50 % dari setiap tamu yang datang. Tapi itu khusus untuk pegawai freelance seperti aku, pegawai yang melayani pijat “plus-plus”. Untuk kapster biasa, emak menerapkan sistem gaji. Rosalia Dewi, nama yang dia berikan untuk dirinya sendiri. Menurut cerita yang aku dengar, nama aslinya adalah Siti Rohimah. Tidak perlu aku sebutkan alasan mengapa ia mengganti namanya menjadi Rosalia Dewi. Tetapi kami disini memanggilnya dengan sebutan “emak”, di samping sudah agak tua, di salon ini dia memang berperan sebagai ibu dari kami semua. Kalau di tempat prostitusi yang berkelas, sebutannya mungkin mami. Sempat terlintas untuk memanggilnya mami, tapi ia tidak suka, panggil emak saja katanya. Emak sering bercerita kepadaku, bahwa dulu sewaktu ia muda, ia sangat di sukai oleh para lelaki hidung belang. Bahkan nona Ros, begitu julukannya dulu, sangat terkenal seantero Jogja. Tidak ada pria yang tidak kenal namanya. Dulu, masih menurut pengakuannya, wajahnya sungguh cantik, tubuhnya begitu indah. Tinggi semampai, proporsional dan montok. Dalam waktu semalam, dia bisa menghasilkan uang jutaan dari melayani para lelaki hidung belang. Duit sejuta pada masa itu sangatlah besar nilainya. Setiap malam, para lelaki hidung belang antri untuk menikmati kenikmatan yang di tawarkan oleh tubuhnya yang elok. Aku tertunduk diam setiap mendengar dirinya menceritakan masa-masa jayanya dulu sebagai seorang wanita pemuas nafsu. Mengapa dia menceritakan hal itu dengan penuh semangat, sepertinya dia bangga karena dulu tubuhnya sangat ingin di nikmati oleh para lelaki hidung belang. Sangat berbeda jauh dengan diriku, sebisa mungkin aku harus menutup-nutupi pekerjaanku sebagai seorang wanita pemuas nafsu. Tak terbayangkan apabila ibuku dan anak-ku yang masih kecil mengetahui profesiku yang sebenarnya. Hati mereka pasti hancur, pun juga hatiku. Ah tapi biarlah, setiap orang memang berbeda-beda dalam menyikapi hidup.

Emak juga pernah cerita, bahwa dulu ia pernah berhenti bekerja sebagai perempuan pemuas nafsu. Hal itu dikarenakan kehadiran seorang pria yang mampu meluluhkan hatinya. Pria ini dulunya adalah salah seorang pelanggan setia emak. Dalam sebulan, pria itu bisa memakai jasa emak sebanyak 5 kali. Emak jatuh cinta, lalu mau saja ketika pria itu mengajaknya menikah. Pria itu mengaku kepada emak, bahwa dirinya masih bujangan dan berprofesi sebagai seorang pengusaha di bidang tekstil. Pria yang menurut cerita emak berasal dari daerah Kalimantan itu adalah tipe pria yang di idam-idamkan oleh kebanyakan perempuan. Berparas cakap dan berkulit putih. Apalagi ia mengaku sebagai seorang pengusaha, tentu masa depan akan terjamin. Mereka-pun akhirnya melangsungkan pernikahan di bawah tangan. Pernikahan siri. Sebenarnya emak menginginkan pernikahan secara resmi, tapi pria itu menjanjikan, suatu saat ia akan menikahi emak secara resmi. Emak-pun percaya. Mereka lalu mengontrak sebuah rumah di pinggiran kota. Sebulan berjalan, pernikahan mereka berlangsung biasa saja, sama seperti pernikahan-pernikahan yang lainnya. Emak berhenti total dari pekerjaannya sebagai seorang perempuan pemuas nafsu pria. Saat itu, ia hanya fokus untuk memuaskan satu orang pria saja, pria yang telah menjadi suaminya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, emak berjualan baju. Modal ia dapatkan dari tabungannya saat masih menjadi perempuan pemuas nafsu. Bulan berikutnya, pria itu berkata kepada emak, bahwa ia akan pulang ke daerahnya di Kalimantan. Pria itu berkata bahwa ia hanya pergi seminggu saja, ada urusan bisnis, setelah itu ia akan kembali lagi ke Jogja. Seminggu berlalu, sebulan berlalu, setahun berlalu dan pria itu tidak pernah kembali Tiada yang dapat emak lakukan selain menangis. Ia tak tahu kemana hendak mencari suaminya tersebut. Sampai suatu saat, emak iseng mengunjungi lokalisasi tempatnya dulu bekerja. Ketika ia datang ke tempat itu, teman-teman satu profesinya dulu melihatnya dengan sinis. Banyak diantara mereka yang saling berbisik, entah apa yang sedang mereka perbincangkan, pikir emak kala itu. Namun ada salah seorang temannya yang bernama Luna. Ia yang memberitahukan kepada emak, bahwa pria yang menjadi suaminya tersebut masih sering main ke tempat prostitusi itu. Dan dari cerita yang Luna dengar, pria itu berada di Jogja hanya untuk tugas dari kantornya di Kalimantan, bukan sebagai seorang pengusaha tekstil yang selama ini emak tahu. Di Kalimantan, pria itu telah memiliki seorang istri dan dua orang anak. . Emak terjatuh, pria yang ia sayang dan cintai , pria yang telah ia percaya selama ini ternyata telah membohonginya. Ia sudah tak percaya lagi dengan semua pria. Dirinya pun kembali bergelut di dunia hitam, dunia yang sempat membesarkan namanya. Tapi hanya berlangsung selama 2 tahun. Ia sudah semakin tua, tubuhnya menggemuk dan tidak proporsional lagi. Kulitnya tidak semulus yang dulu. Meski telah beberapa kali operasi plastik, hal tersebut tidak mampu mengembalikan kecantikkannya seperti dulu. Tarifnya turun drastis, ia tak lagi di gilai para lelaki hidung belang. Tak ada lagi pria yang antri hanya untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Diapun berhenti, dia meminjam uang di rentenir dan mendirikan sebuah salon kecantikan, tempatku bekerja saat ini. Dan hingga saat ini, dia tidak pernah menikah lagi.

**

Begitulah emak, kisah hidupnya benar-benar memilukan. Pernah sekali waktu aku bertanya, mengapa ia masih saja mendirikan usaha yang tidak halal, mengapa tidak membangun sebuah usaha yang halal saja.

“Isoku Cuma ini Mir, aku gak iso yang lain…” begitulah jawaban yang aku terima.

Emak Ros, bagaimanapun dia, adalah orang yang berjasa bagiku. Aku masih teringat ketika pertama kali ia menemukanku di sebuah pasar. Dia yang mengajakku untuk bekerja di salonnya. Awalnya aku menolak, tapi karena aku sangat membutuhkan uang, aku-pun menerima tawarannya.

Sebuah masa lalu yang menyakitkan, tapi ia berhasil melaluinya. Lihatlah dirinya sekarang, sepanjang hari ia selalu tersenyum. Wajahnya berbinar-binar, pundi-pundi uang telah menantinya. Sedangkan aku? Aku seperti robot yang terus-terusan di beri pelumas. Hanya libur ketika sedang menstruasi. Hari ini belum selesai, nanti malam, aku masih harus bekerja, bergelut dengan dosa. Demi impianku, demi ibu dan anakku.

Bersambung……

Baca cerita sebelumnya : mirna dan dosa (om jerry)